[CERPEN] Maaf, Aku Mencintaimu

Love by unsplash Shaira Dela Peña

Hanya saja kau bukan orang itu
Bahkan ku tak mengenalmu
Tapi, kenapa?! Kenapa dirimu?!

***

Malam itu, hatiku rasanya tak di tempatnya lagi. Semuanya hambar. Ah, tidak. Bukan, bukan seperti itu. Hanya saja, hari ini, aku merasa bahagia dengan wisudaku. Dan kini, kau datang dengan senja yang telah menghilang dan membawa luka di hatiku.

Sebenarnya aku bahagia dengan ini jika itu adalah dia. Dia yang telah mencuri hatiku diam-diam. Dia yang mengisi relung hatiku selama ini. Tapi kenapa dirimu? Kenapa?

"Lathifah, apa jawabanmu?" suara nan lembut terdengar di telingaku. 

Aku terperanga dengan sesosok wanita yang sudah tak muda lagi bertanya padaku. Lagi-lagi rasanya semua hampa. 

"Jadi, jawabanmu apa, Lathifah?" pertanyaan yang hampir sama terdengar kembali di telingaku. Tanpa kusadari sebelumnya ternyata ibuku menyimpan kebahagiaan di balik matanya. Dan mata yang berbinar itulah yang membuatku merasakan perih.

Kini, kurasakan meteor seakan jatuh menghujani hatiku dan meninggalkan lubang yang menganga di dasarnya. Rasanya aku ingin menjerit kesakitan dengan perih yang timbul karenanya. 

Kau tahu?! Kau adalah lelaki yang tiba-tiba saja datang dan menginginkanku menjadi istrimu. Sungguh jahat dirimu yang datang dengan keluargamu yang sama sekali tak kukenal.

Tapi, bagaimana jika kau adalah lelaki yang dikirim Allah untukku? Bagaimana? Bukan kumenolak jika memang benar kau adalah takdir yang dikirim-Nya untukku. Namun, hatiku menolakmu. Lalu bagimana? Hah, bagaimana kau menyikapinya?

Aku tahu, tak butuh cinta untuk mengawali hubungan yang diridhai-Nya. Tapi, apakah kamu bisa hidup dengan orang yang hatinya telah mencintai orang lain? Dan apakah kamu tak merasa iba jika aku merasakan sakit dengan hubungan kita kelak? 

"Lathifah...?!" 

Aku terkejut dengan sebuah tangan yang tepat berada di pundakku, "Iya, Bu?" 

"Lalu bagaimana, Nak? Ibu menyerahkan semua keputusan padamu?"

Aku menatap perlahan bola mata ibu yang membuatku tak tahan melihatnya. Mungkinkah aku harus merelakan hatiku dengan luka yang akan timbul karena hati yang telah mencintai orang lain? Lalu apakah aku bisa mengecewakan ibuku? Entahlah. Yang aku tahu sekarang adalah kenyataan kalau aku tak mencintai lelaki itu, lelaki yang membuat mata ibuku berbinar seperti sekarang.

Tapi ... inilah keputusan, sebuah dilemanisasi kehidupanku.

Sebuah senyum mengiringi keputusan yang mungkin membuatku merasa hilang, hampa dalam dunia yang sebenarnya dipenuhi jutaan manusia.

"Kuserahkan semuanya pada Ibu saja." 

Hatiku benar-benar telah pergi meninggalkan jiwaku dengan penuh kepedihan.

Ibuku tak segan menatapku dengan penuh cinta dan kasihnya, memelukku dalam dekapannya. Aku tahu, aku mengerti keputusan apa yang akan kau ambil, ibu.
Kuanggungkan kepalaku berisyarat agar ibuku segera menjawab pertanyaan penuh duka yang kurasakan ini. 

***

Berhasil sudah, duka telah menyelimuti kehidupanku. Bahkan, lebih menyakitkan daripada yang kubayangkan. Sekarang, bukan kuingin menarik sebuah garis lurus dalam sebuah lingkaran yang memisahkan diriku dan dirimu.

Hanya saja, kumenarik dua garis lurus dalam lingkaran tersebut, hingga terbentuk sebuah juring di dalamnya. Aku tak bermaksud menghindar. Tapi, ini adalah tempat yang membuatku nyaman. 

Senja telah kembali ke peristirahatnnya; bulan dengan anggungnya telah menyambut gelap yang dipenuhi kemilau bintang dalam dekapan malam.

"Assalamu'alaikum."

Hatiku masih tertegun dengan suara yang beberapa hari ini sering kudengar. Suara yang entah kenapa membawa pilu yang begitu dalam.

"Wa'alaikumsalam...." jawabku dan tetap tertegun dengan keadaanku yang sekarang, membuatku membatu dalam kenyataan yang membuat diriku rapuh kemudian dihempas bersama hatiku yang kian senyap.
Suara televisi yang masih mengisi ruangan ini membuatku tak mendengar langkah kakinya yang ternyata telah berada di dekatku.

"Lathifah...." 

Kupalingkan pandanganku ke arahnya, meski rasanya begitu kaku untuk hanya sekedar memandangnya tapi inilah kewajibanku sebagai seorang istri. 

Kepercikkan sebuah senyum di wajahku ketika memandangnya. Setidaknya hanya ini yang bisa kuberikan padanya.

Aku berdiri dan meraih sebuah tas dan jas berwarna putih yang ia bawa di tangan kanannya. "Mau kusiapkan air panas untukmu mandi?" setidaknya aku ingin menjadi istri yang memerhatikan dirinya.

"Tidak usah," katanya.

"Tidak apa-apa, biar kusiapkan, ya?!" kataku dan langsung berpaling darinya.

"Lathifah ...."

"Iya." Aku menghentikan langkahku hingga kuharus menatapnya lagi.

"Tidak usah, tetaplah di sini."

"Ah, tidak apa-apa." Kakiku melangkah lagi dan berpaling darinya. Kurasa ini sebuah alasan untuk menjauh darinya.

"SUDAH KUBILANG TIDAK USAH...." Teriaknya dan membuatku terkejut seketika. 

Ini pertama kalinya ia berbicara sekeras itu.
Air mataku yang sedari tadi ingin tumpah melihatnya, kini benar-benar telah tergores di pipiku. Hatiku begitu sakit. Aku benar-benar wanita yang tak berdaya.

Lantai yang berkilau kuhujani dengan air mataku. Aku tertunduk dan seketika sepasang kaki tepat berada di depanku.

"Ifah, dongakkan wajahmu!" suaranya yang terdengar lebih lembut mengisi gendang telingaku.

Perlahan kudongakkan wajahku tapi aku tak berani menatap matanya. Aku tak berani memandangnya karena kutahu aku akan tersakiti dengan rasa bersalahku padanya yang terus-terusan menghindar.

"Jika kau tak ingin menatapku, tidak apa. Tapi, Bisakah setidaknya kau tak mencoba menghindar dariku? Dan ... bisakah kau berbohong di depanku? Cukup di depanku?"

Hatiku teriris dengan kata-katanya. Aku merasa bersalah karena tak memberinya kebahagian sebagaimana yang dirasakan pasangan di dunia ini. Tapi, berbohong? Maksudnya apa? Dan untuk apa?

Kini aku menatap lekas matanya yang menyimpan kpedihan. "Berbohong?! berbohong untuk apa?"

"Bisakah kau berbohong kalau kau mencintaiku?" Aku benar-benar tertegun mendengar ucapannya. 

"Mungkin aku terlalu egois dengan perminataanku yang mungkin menyakitimu, tapi bisakah kau melakukannya di depanku?"

Aku kembali tertunduk. "Maaf ... maafkan aku ...." 

"Kenapa meminta maaf? Padahal kau hanya harus menjawab ya atau tidak." Ia menghapus air mataku yang telah bercucuran di depannya. "Tapi, maafkan aku yang telah membuatmu meneteskan air mata seperti ini. Maafkan aku karena telah merebut kebahagiaanmu sebelum kedatangan diriku dalam hidupmu. Kau tahu?! sekarang aku menyadari bahwa kau mencintai seseorang yang ternyata bukan diriku, tapi kenapa? Kenapa kau mau menerima diriku jika kau sendiri mancintai orang lain? Kau tahu ini membuatku merasa bersalah." 

"Tidak ... akulah yang seharusnya meminta maaf. Maaf karena tak mencintaimu, maaf karena telah melukaimu, maaf karena tak membuatmu bahagia, maaf karena tak menjadi istri yang baik untukmu, maaf...."

"Sudah, cukup."

"Maaf karena aku tak bisa berbohong untuk mencintaimu...."

Sejenak kedua mata kami saling bertemu.

"Tak apa, karena kutahu ini terlalu menyakitkan untukmu, dan berhentilah meminta maaf,"

"Tapi, maaf ... mulai sekarang aku akan belajar mencintaimu." Kusemaikan senyum di antara aliran air mata dari rasa bersalahku kini.

Kulihat ia begitu kaget mendengar kata-kataku. Aku tidak tahu apa yang kurasakan sekarang, tapi aku yakin kalau aku benar-benar rela untuk membuka pintu hatiku untuknya.

Kutatap lekas kedua bola mata miliknya hingga hatiku benar-benar bisa merelakan seseorang yang kucintai dan menggantinya dengan lelaki yang lebih pantas untukku, lelaki yang akan mebuatku istimewa di dunia ini dan lelaki yang Insya Allah akan membawaku pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ia masih tetap terperanga menatapku dan dengan perlahan memelukku dalam dekapannya.

"Mungkin, sekarang aku belum mencintaimu. Tapi, kumohon jangan menyerah menungguku untuk mencintaimu."

"Hmm...." Gumamnya. 

Sekarang, aku merasakan berkas-berkas cahaya menelusup dalam setiap rongga hatiku, meneranginya, melelehkan es yang telah lama membuatnya beku, dan menumbuhkan warna-warni kehidupan dalam jiwaku.

Suamiku, aku tak tahu kapan cinta itu datang membawa harum bunga dalam keluarga kita. Tapi, biarkan aku menjadi isterimu yang berbakti dan kau cintai, selamanya.

SELESAI

-- Ditulis sekitar tahun 2016, mohon ambil baiknya, buruknya simpan disini saja

Post a Comment for "[CERPEN] Maaf, Aku Mencintaimu"