[CERPEN] Kamu Berharga

Rose mawar

'Maaf', kata ini adalah tanda penyesalan seseorang. Terkadang kata ini susah untuk diucapkan serta dibutuhkan hati yang lapang pula untuk menerimanya. Kata ini akan terasa berbeda jika diucapkan oleh orang yang benar-benar tulus pada kita.

***

Tempat duduk di depan suatu ruko, di sana aku duduk menunggu seseorang. Seseorang yang telah berjanji akan pulang bersama setelah aku selesai tarbiyah. Di sana aku menunggunya, senyum teruntai bebas di sela-sela waktu menunggunya berharap dia akan segera datang.

Ayunan kaki terjulur ke depan dan ke belakang, kebiasaan yang sering kulakukan kala menunggu. Kendaraan yang lewat serta merta menjadi pemandangan di depan mataku. Pepohonan di pinggir jalan melambai-lambai seakan ikut menari mengikuti irama angin berhembus dengan lembutnya.

Aku kira penantian ini hanya akan berlangsung singkat akan tetapi jam di pergelangan tangan kiri telah menunjukkan pukul 15.20, itu bararti 20 menit telah berlalu dan diapun tak kunjung datang. Sekarang nampak tatapan yang memandangiku dari beberapa pasang mata manusia yang ada di toko seberang jalan, beberapa orang yang lewat pun bersikap demikian di depan ku.

Aku mulai risih dengan hal itu. Aku paham, mungkin mereka aneh melihatku memakai seragam sekolah duduk di pinggir jalan padahal jam pulang telah lama berlalu.

”Iiicchhh....” Gerutuku mencoba mengindar dari tatapan mereka, ayunan kaki yang sedari tadi kulakukan terhenti seketika.
Kini aku benar-benar berharap dia akan segera datang.

”Kapan dia akan datang?!" Aku mulai bertanya pada angin namun tak kunjung ada jawaban. "Katanya sepulang aku tarbiyah dia akan menemuiku tapi buktinya sampai sekarang dia tak juga datang.” Ucapku kesal.

“Mana hari ini aku lupa bawa ponsel.” lanjutku menendang beberapa kerikil kecil di depanku.

Berbagai macam gulatan-gulatan di wajahku telah ku lakukan untuk mengekspresikan kekesalanku. Kini pun rasa bosan merajai perasaanku tapi aku tetap harus menunggunya. Meski rasanya ingin pergi saja dari tempat ini tapi aku khawatir dia akan datang dan tak lagi melihatku di sini.

‘Bersabar', mungkin itu yang harus kutanamkan dalam hatiku sekarang. Perlahan-lahan aku mengambil buku dari dalam tasku berharap rasa bosan yang yang mengahampiriku akan segera hilang.

Lembar demi lembar dari buku itu kubuka, mencari lipatan kertas yang menjadi tanda jejeran kata bahkan kalimat yang telah ku baca. Perlahan-lahan tapi pasti aku menemukannya dengan mudah. Aku mulai mengintai setiap kata dari buku itu, mataku bergeliat ke kanan dan ke kiri mengikuti setiap deretan kata-kata yang terangkai dengan indahnya.

Tak terasa 3 lembar dari bagian buku itu telah kubaca tapi dia tak juga datang. Kini, aku merasa dia mungkin tak akan datang menjemputku, meskipun janji bahwa dia akan menemuiku telah terucap dari mulutnya. Tapi, toh tidak menutup kemungkinan dia akan mengingkarinya.

Helaan nafas panjang berhembus .

“Mungkin dia benar-benar ngak akan datang menemuiku.” Kalimat inilah yang kini mengiang-ngiang dalam pikiranku. “Ngak, tunggu sebentar lagi saja, mungkin dia akan datang.” Lanjutku mencoba menghibur diri.

Berselang beberapa menit yang lamanya serasa berabad-abad, untaian kata-kata yang kuucapkan sebelumnya hilang seketika. Badanku pun rasanya ngilu duduk menunggunya.

“Pulang saja ah, DIA NGAK AKAN DATANG.” Penekanan pada kalimatku berusa menambah keputusasaan.

“Iya pulang saja, dia benar-benar ngak akan datang.” Keputasan telah kuambil.

Aku memasukkan buku yang telah ku baca ke dalam tas.Tas ransel yang telah menjadi teman setiaku kini kuletakkan kembali di punggungku, badan mulai berdiri tegak, kakiku mulai melangkah. Sekarang tujuanku adalah kembali ke rumah tanpanya.
Tangan melambai menghentikan sebuah angkutan umum yang melaju ke arahku. Aku melihat ke sekeliling sekali lagi tapi aku masih tak melihatnya. Yah meskipun hati kecilku masih berharap dia akan datang dan menghentikanku.

Kulangkahkan kaki naik ke angkutan umum dengan helaan nafas panjang yang telah berulang kali ku lakukan. Sungguh dia benar-benar tidak datang.

“Dasar cewek tengik.” Ujarku menutup langkah kakiku dan mulai melihat pepohonan di pinggir jalan dari dalam jendela angkot.

Keesokan harinya...

Sore ini tak secerah tadi pagi. Kini, nampak awan hitam menyelimuti sebagian langit. Langit yang tadinya begitu indah dengan warna biru yang sangat menenangkan hati kemudian pada akhirnya tertutupi dengan seramnya gumpalan awan hitam.
Hujan akan segera turun, langkah kaki ku pun tertuju ke rumah. Ku balikkan badanku melangkah ke rumah tapi tiba-tiba...
"Bruukk..." Seseorang tiba-tiba saja melompat ke arahku dan menyampitkan tangannya di pundakku.

“Hai....” Sapanya dengan sunggingan senyum.

”Untuk apa kamu ke sini, aku pikir kamu ngak mau menemuiku lagi.” Aku terus berjalan tanpa menandangnya.

“Cie yang ngambek." Dia masih tetap senyum-senyum bahkan seakan mengejekku.

"Ngak tuh, sorry." Aku melepaskan tangannya di pundakku dan tetap berjalan tanpa memandangnya.

"Maaf deh, kemarin aku ada sedikit masalah sampai-sampai ngak bisa jemput kamu.” Ujarnya. Kini, senyumnya sirna. Matanya tampak redup terlihat penyesalan di wajah mungilnya.

“Terus?” Aku masih tak terima dengan kelakuannya kemarin.

“Windi...." Hanya namaku yang bisa ia sebut.

Sunyi tiba-tiba menyergap. Tak ada yang berani memulia lagi. Aku masih sibuk dengan kekesalanku padanya.

“Maaf, maaf, itu salahku.” Ujarnya kemudian.

“Huft," aku menarik nafas pelan, mengendalikan kekesalan yang sebenarnya ingin kutumpuhkan padanya hari ini.
"Memangnya kenapa kamu tak datang menemuiku kemarin?” tanyaku dengan nada yang sedikit lembut.

“Sebenarnya aku ingin menemuimu tapi tiba-tiba ibuku menelpon untuk segera datang ke rumah kakekku. Meskipun aku bilang aku sudah berjanji bertemu denganmu, tapi ibu terus memaksaku datang. Aku ingin menghubungimu tapi sayangnya pulsaku habis, sekali lagi maaf yah!” jelasnya panjang kali lebar sama dengan luas. Yah, penjelasannya meluas.

Aku terdiam sejenak. “Memangnya kenapa ibumu memanggilmu ke rumah kakekmu?” tanyaku penasaran.

“Hmm... kakekku sakit.” Raut wajahnya semakin sendu.

Kekesalan yang bersemayam dalam dadaku sejak kemarin sirna sudah. Semuanya berubah menjadi penyesalan, tak seharunya aku berpikir yang tidak baik tentang dirinya.

“Hmm... lalu bagaimana keadaan kakekmu sekarang?” tanyaku prihatin.

“Kakekku sudah baikan kok." Dia mengulas senyum mejawabnya.

"Kamu ngak marah lagi kan sekarang?” tanyanya kemudian.

Rintik hujan mulai turun, tak menungguku masuk ke rumah. Bahkan, tetesan airnya yang kini turun pun semakin deras.

“Ayo... cepat masuk.” Ajakku.

“Iya, tapi kamu ngak marah lagi kan?” tanyanya tetap bergeming dari tempatnya meski sadar bahwa rinai hujan semakin deras.

“Hmmm, iya, iya, ayo cepat masuk.” Jawabku spontan kemudian berlari kecil menuju rumah. Tapi...

Langkahku tiba-tiba berhenti ketika dia datang memelukku. Terasa hangat berada di pelukannya, dia tidak berubah sama sekali, tetap sehangat pertama kali bertemu lalu sejak awal masuk SMP, 4 tahun lalu. Karena masih tetap sama, dia juga selalu bisa membuatku jengkel tapi itulah dia. Dia hanyalah sahabatku tapi dia berharga bagiku. Yah, meskipun kemarin dia membuatku menunggu lama tapi itu tak seberapa dengan kesetiaannya padaku selama ini.

SELESAI

Somewhere in Bima Sakti, 2014.

Note: cerita ini hanya fiksi, ambil hikmahnya dan yang melanggar norma apapun tidk untuk ditiru

Post a Comment for "[CERPEN] Kamu Berharga"