[CERPEN] Seindah Cinta Surah An-Nur Ayat 26
Di suatu pagi, di awal keindahan mentari menyinari jagad raya, kutemukan ia. Seseorang yang mampu menaklukkan hatiku, seseorang yang mampu membuat hatiku berdetak kencang tak karuan, seseorang yang serasa membawaku tebang tak terhingga.
Dan kali ini aku merinduknya. Aku sungguh merindukannya. Andaikata kubisa ungkapakan rasaku padanya, maka telah kuucapkan berulang kali, dan jika ia berada di depanku sekarang, maka aku tidak tahu betapa bahagia diriku. Tapi, aku tak ingin hanya menjadi muslimah di luar saja, tetapi aku ingin menjadi seorang muslimah yang di dalam hatinya suci. Tak ada duri yang mampu menjadikanku merasakan sakit yang begitu perih tak tertahankan.
***
Di sebuah tempat duduk di bawah rindangnya pohon Trambesi, kududuk bersandar memandangi matahari senja yang semakin memerah. Aku begitu terhanyut dengannya. Penat yang kurasakan seharian di kantor pun perlahan pudar.
Kuluruskan kakiku, hingga kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan tempat ini. Langkah kakiku terus berjalan menuju ke rumah yang tak jauh dari taman ini.
Sesampai di depan rumah, kulihat sebuah mobil sedan pribadi terparkir di depan rumahku. Kuberjalan terus dan terus. Tepat di depan pintu, hatiku rasanya tak karuan, rasanya begitu mampu membuat jantungku buyar seketika.
"Assalamu'alaikum," kataku.
Hatiku begitu bahagia, tapi aku tak tahu harus bagaimana. Yang kulakukan hanya menundukkan kepala tanpa menoleh, tanpa senyum dan terus berjalan.
Brakk...
Sakin menunduknya, kutabrak ibuku yang sedang berjalan dari arah depanku.
"Ibu, maaf...." kataku bingung.
"Iya, lain kali, jalannya hati-hati." Kata ibuku terlihat sabar.
"Hmm, ibu yang di ruang tamu itu siapa?"
"Oh, itu ibu Asiah."
"Terus yang di sampingnya?"
"Itu anaknya bu Asiah, Ali namanya."
"Ooo, namanya Ali toh." Sebuah senyum teruntai di wajahku.
Tepat 7 tahun lalu, kulihat ia di gerbang sekolah. Kala itu, aku duduk di kelas 3 SMA dan dia setingkat lebih rendah dariku. Ya, dia adik kelasku, seseorang yang membuat jantungku berdetak kencang dan membuat hatiku berbunga-bunga sejak saat itu. Dan hari ini dia berada di rumahku.
Senyumku terus saja teruntai hingga sekarang.
"Oh iya, kenapa mereka ke sini?"
"Dia mau melamar sepupumu, Asma. Dan dia bermaksud untuk bertemu dengannya sebelum melamarnya dengan resmi." Kata ibu yang sedikit berbisik.
Hatiku rasanya pecah berkeping-keping. Ah, tidak, rasanya seperti hancur menjadi abu yang kemudian diterbangkan angin riuh yang tiba-tiba datang menerpaku.
"Oh, gitu yah...." kataku tak karuan.
Wajah yang tadi begitu berseri dengan senyum yang indah, tiba-tiba berubah menjadi redup, masam dan tak teridentifikasi kalau itu adalah mukaku. Bak langit yang dihiasi awan hitam tanpa cahaya matahari, gelap.
Kulangkahkan kakiku menuju kamar. Lemas, dan inilah yang kurasakan. Hatiku seperti tak bernyawa lagi.
Setelah kubuka pintu kamarku, tiba-tiba...
"Kak Fatimah, kakak udah pulang ya? Hmm... kakak udah ketemu?" tanya Asma yang seketika mengagetkanku.
"Kamu mengagetkanku. Ketemu siapa?" Kataku
"Ali." Jawabnya singkat.
"Hmm ... eh, kok kamu tahu?" tanyaku, "eh, tidak, tidak. Kamu mana mungkin tidak tahu Ali, dia 'kan...." Lanjutku ketika mengingat perkataan ibu tadi.
"Ya, tentu saja aku tahu Ali, dia 'kan satu kelas denganku waktu SMA." Katanya langsung celoteh memotong pembicaraanku.
"Ciieee, udah ada yanag mau nikah nih," katanya lagi.
"Kamu ngomong apa sih ... bukannya kamu, ya, yang mau menikah?" Jawabku sangat iri padanya.
"Hah, aku? mana mungkin aku yang mau nikah, kan kakak yang ingin dilamar Ali." Kata Asma yang membuatku kebingungan hingga mengernyitkan kening.
"Ngak usah kaget gitu dong kak, memangnya bibi tidak memberitahu kakak?" Lanjut Asma.
" Tapi, Ibu bilang yang mau dilamar Ali itu kamu," kataku.
"Mungkin bibi bercanda, Kak. Tanya bibi lagi aja kalau ngak percaya." Kata Asma yang memberikan sedikit ruang cahaya di hatiku yang gelap.
Kakiku langsung refleks melangkah mencari ibu, aku ingin memastikan tentang semua ini. Dan kudapati ibu di depan pintu.
"Eh, tamunya udah pergi, ya, bu?" tanyaku. Sedikit kecewa, namun tak apa.
"Iya." Sesingkat itukah? Harusnya kan ibuku memberitahuku tentang semua ini.
"Hmm, memangnya kenapa mereka cepat pulang?" tanyaku basa basi.
"Udah mau magrib katanya. Lagipula dia dan ibunya udah liat kamu kok." Kata ibuku yang jujur membuatku nyengir kuda.
"Kok liat aku sih,bu? Bukannya dia mau lamar Asma,ya?" yeah tanyaku basa basi lagi.
"Ibu cuma bercanda kok," sambil tersenyum, "yang mau dilamar itu kamu. Tapi ngak tahu tuh, katanya kamu cuek sih." Ibu lagi-lagi...
"Ngak kok, aku ramah bangeeet sama orang." Oh ya Allah, apa yang kukatakan? Membujukkah?
"Besok , kamu tidak usah kerja. Kamu minta cuti saja karena mereka akan datang lagi esok pagi untuk melamarmu. Sudah, pergi mandi sana," Kata ibuku
Oh ya Allah, sungguh indah yang engkau berikan padaku. Sebuah kado menuju penyempurnaan angama-Mu. Aku tak memikirkan semua ini sebelumnya dan dengan dia yang telah lama mengisi hatiku yang kian mencengkram dada menahan kerinduan.
Aku berjalan lebih lamban menuju kamar. Ah, sungguh diriku serasa di hamparan bunga yang begitu indah. Bahagia.
*Keesokan harinya*
Di pagi hari, kutemui beberapa keluarga telah berkumpul. Dan, oh ini hari lamaran. Rasanya begitu tak percaya.
Tepat jam 09:13, rombongan dari keluarga Ali datang. Hatiku berdetak kencang merangkai senyum pun rasanya bergetar. Kulihat dia penuh hinar-binar kebahagian. Dan tiba-tiba terbesit suatu ingatan bahwa selama ini dia tak pernah menyapa bahkan menyakan tentang diriku. Dan kali ini dia melamarku. Oh, cinta dalam diam? Mungkin.
Perbincangan antara keluarga terus berjalan dan aku hanya tinggal diam dan tetap waspada. Namaku disebut saja membuat pipiku merona bak terbakar api unggun.
Dan akhirnya pernikahan akan dilangsungkan sebulan kemudian. Hmm... sepertinya mereka lupa sesuatu, mereka tidak menanyakan apakah aku bersedia, mereka main jawab-jawab saja. Tapi, tak apalah, mungkin ibuku juga sudah tahu kalau anaknya ini memendam rasa pada calon menantunya itu.
Memikirkan pernikahan saja sudah membuatku girang setengah mati. Apalagi kalau udah pernikahan, ya? Entahlah, kuserahkan semua kepada-Nya.
*Sebulan Kemudian*
Woow... hari ini adalah hari pernikahan.
"Saya terima nikah dan kawinnya...." Sebuah ikrar suci telah terucap dari bibirnya. Ia telah membuka awal baru dalam kehidupanku.
Tangis pun tak henti mengalir menjadi saksi betapa bahagianya aku sekarang dan aku juga berpikir bahwa aku akan ikut Ali -Ah tidak, dia suamiku sekarang- setelah ini hingga aku harus meninggalkan orang tuaku. Meski, tetap bisa bertemu, tetapi tetap saja tidak sedekat dan sesering saat aku tinggal bersama mereka.
Namun, kali ini ada sesuatu yang membuat hatiku merasa janggal.
"Kapan dia menyukaiku, yah?" tanyaku penasaran dalam hati.
Pernikahan yang kemudian dilanjutkan dengan acara resepsi di sebuah gedung yang tak jauh dari rumahku, berjalan dengan lancar.
Di pelaminan, seringkali aku melirik ke arahnya. Aku tak pernah menyangka bahawa dia sekarang adalah suamiku. Seringkali dia memberiku sebuah senyum yang begitu indah di mataku. Aku semakin bahagia tak tertahankan.
*Skip Time*
Inikah yang disebut malam pertama? Deg-degan? Iya. Malu? Iya. Bahagia? Banget. Aku hanya terduduk di tempat tidur di kamarnya. Oh, inikah kamarnya? Rapi .
Kulihat pintu kamar terbuka, dan dialah orangnya. Aku merona malu. Dia perlahan mendekat padaku dan sekarang duduk di sampingku. Jangtungku rasanya tidak di tempatnya lagi.
Aku melihat ke arahnya dan sungguh senyumnya kini membuatku tak karuan. Bahagianya. "Aku mencintaimu." Ingin ku katakan itu padanya sekarang.
"Kakak, senang tidak menikah denganku?" tanyanya memulai percakapan.
'Kakak?' dia bilang kakak?, Ini sungguh membuatku sedih, meski aku kakak kelasnya di SMA tapi seharusnya dia tidak memanggilku kakak saat aku menjadi istrinya.
"Kakak, ya? Kamu membuatku sedih dengan panggilan itu. Tapi, hmm... aku senang kok menikah dengan Mas," Ucapku.
'Mas?', aku panggil dia Mas? Rasanya aku ingin guling-guling sakin girangnya dengan ucapanku itu.
Senyumnya terangkai indah di depanku sekarang.
"Baguslah kalau kamu senang. Hmm ... aku ingin bilang sesuatu padamu..."
"Apa?" jawabku kegirangan, mungkin memotong perkataannya.
"Aku ..." dia menarik nafas sebelum melanjutkan, "sebenarnya, aku telah menyukaimu sejak awal masuk SMA. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku selalu ingin mengungkapanya, tapi aqidahku selalu menghentikanku melakukan itu." Katanya terlihat malu-malu juga.
Ya Allah... dia menyukaiku sebelum aku menyukainya. Sungguh bahagia diriku mengetahui itu.
"Hmm... sejujurnya, aku juga menyukaimu sejak SMA, tapi aku menyukaimu sejak kejadian di gerbang sekolah." Kugigit bibir bawahku setelah mengatakan itu.
"Ketika kau menabrakku? Itukah?"
"Hmm...."Jawabku sambil mengangguk.
Dia tertawa kecil setelah mendengar jawabanku, rasanya begitu bahagia melihatnya tertawa. Aku begitu bahagia dan sakin bahagianya air mata ku mengaliri pipiku.
"Fatimah, kamu kenapa? Hmmm... maaf jika sikapku ini melukai perasaanmu"
"Tidak, tidak, tidak. Aku hanya bahagia makanya aku menangis," jawabku, "Ali... Aku mencintaimu." Lanjutku sambil tersenyum meski air mataku tetap mengalir.
"Iya, aku juga mencintaimu, istriku." Jawabnya singkat.
Aku begitu bahagia sekarang, menjadi istri dari seorang lelaki yang mampu menahan rasanya selama ini untuk tetap berada di atas syariat-Nya. Maha besar Allah yang telah berfirman dalam kitab-Nya bahwa "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)..." (QS. An-Nur: 26). Sungguh aku begitu bahagia dipersandingkan dengan Ali.
--SELESAI, ambil baiknya, buruknya simpan di sini saja
Amanda Pratiwi aka Allamandawi. Bulukumba, Mei 2015. Dalam Anatalogi cerpen "Cinta Islami" oleh MPI Sidoarjo.
Post a Comment for "[CERPEN] Seindah Cinta Surah An-Nur Ayat 26 "
Post a Comment