[CERPEN] Luka

Cerpen luka dan senja

Entah sejak kapan mencintai menjadi serumit ini. Ataukah mungkin, hanya aku yang merasa semuanya rumit. Entahlah. Aku bahkan tak paham akan tentangmu, tentang perasaan dan tentang penghianatan.

Hari ini, entah sudah berapa banyak senja yang kusaksikan tenggelam di bagian barat bumi. Menanyakan pada semesta betapa semuanya terasa tak adil. Tapi, yang tersisa hanya tetes-tetes luka akibat sayatan sembilu yang tak kunjung terhenti.

Bersama senja yang kusaksikan, aku berharap rasa yang merongrong hati setiap harinya pergi layaknya senja. Tenggelam lalu menghilang.

Bahkan, bersama desiran ombak, kutitipkan harapan agar ia mampu membawa perasaan yang tak lagi berarti ini bersamanya. Menghilangkannya layaknya buih di lautan. Lenyap.

***

Wanita itu, entah seberapa dalam luka yang tertoreh di hatinya hingga yang terlihat hanyalah sebuah lara yang tak kunjung berakhir. Dia, entahlah, aku tak mengenalnya. Aku hanya bisa merasakan bahwa dia sama sepertiku.

Kali ini, untuk kesekian kalinya aku menjadikan pantai sebagai pelarian dan kemuadian tak sengaja melihatnya akhir-akhir ini. Dari pertemuan-pertemuan itu, Kadang tanpa sengaja terlihat tetesan-tetesan lara megalir di wajahnya, kadang pula ia melihat laut dengan tatapan kosong.

Dengan langkah kaki yang tak mantap akhirnya hari ini aku punya sedikit keberanian untuk menghampirinya. Entah dari mana sedikit keberanian itu, tapi aku merasa seolah saja dia ingin menarikku untuk masuk ke dalam dunianya, dunia yang mungkin hanya ada ruang hitam atau mungkin saja ruang yang tak bisa kudefinisikan sendiri.

Sore itu, ombak terlihat tenang. Terdengar syahdu nyiur pelepah kelapa karena angin laut. Namun, sepertinya itu tak memberi dampak apapun pada wanita itu. Beberapa waktu lalu aku pun merasa demikian tapi sepertinya perlahan waktu mulai menyembuhkannya.

Dengan jarak yang terlalu dekat tapi masih bisa dirasakan atensinya, aku duduk di sampingnya. Ikut menikmati birunya laut serta sentuhan ombak yang tak jarang menyentuh kaki telanjang kami. Aku menoleh ke arahnya tapi lagi-lagi yang kulihat hanya seseorang dengan raga yang jiwanya berkelana entah ke dunia mana.

"Beberapa waktu lalu, bahkan sampai hari ini, aku selalu berharap agar ombak mampu membawa semua luka yang kurasakan." 
Ungkapku.

Dari sudut mata, ia tak menggubris ucapanku. Ia masih menatap hamparan laut di depan sana.

"Ternyata benar kata orang, terkadang seseorang yang paling kita sayangi malah memiliki potensi paling besar untuk menimbulkan luka." Kataku lagi. Getir, teramat sangat getir tatkala teringat luka itu lagi.

Aku menoleh padanya, seulas senyum pahit kusunggingkan tatkala merasa semuanya masih sama. Sunyi.

Tapi, sepertinya yang tersisa saat ini hanyalah kehampaan yang jauh lebih buruk dari kata kesunyiaan. Aku tak menampik bahwa luka terkadang mematikan hati dan raga.

"Kalimat itu benar sekali." Aku tak berharap dia akan mengeluarkan sepatah kalimat untuk menggubrisku. Tapi, kalimat itu jelas terlontar dari mulutnya.

"Aku menyayanginya dan tanpa sadar aku teramat menyayanginya. Tapi," sejenak dia berhenti, kabut di wajahnya terlihat semakin jelas, "dia pergi." Lanjutnya.
Pergi. Terkadang ada banyak makna pada satu kata itu tapi pada hakikatnya ia hanya bermakna bahwa sesuatu tak lagi ada disampingmu.

"Tetapi, bukankah pergi lebih baik dari kata lenyap atau pun hilang?!" retoris aku mengucapkannya. Ia berbalik menatap ke arahku dan dari raut di wajahnya terlihat keingintahuan yang masih tertutup kabut kesedihan.

"Kenapa?" Aku memberi waktu sejenak sebelum kembali berucap. "Karena setidaknya kamu masih tahu keberadaannya entah dia masih di dunia ini atau pun di tempat di mana semua mahluk berpulang." Lanjutku.

Entah kenapa semua kalimat yang kulontarkan seolah saja memberi kekuatan pada dirinya bahkan diriku sendiri. Ternyata benar, berbagi tak akan membuatmu kekurangan tetapi ia akan berbalik memberimu.

"Percayalah, waktu akan menyembuhkan semuanya. Aku mulai merasakannya sendiri meskipun tak mudah. Tapi dengan waktu, proses kehidupan akan terus bergulir dan saat itu Tuhan sedang mengajarkanmu menjadi pribadi yang lebih kuat."

Seruan untuk menghadap Tuhan telah bergema. Akhir-akhir ini Tuhan benar-benar mengajarkanku hakikat kehidupan. Aku bangkit dari dudukku -dan dia masih masih sibuk dengan pikirannya- kemudian menatap lekat kembali garis horizontal berwarna jingga di ujung langit sana lalu beranjak darinya.

Dua langkah kaki ini berjalan, sesuatu dalam benakku tiba-tiba saja mengenterupsi dan menghentikan langkahku. Aku berbalik dan menatap ke arahnya lalu berucap, "satu lagi, hidup ini bukan hanya tentang jodoh."

Sepersekian detik setelah aku mengucapkannya, wanita itu pun berbalik melihat ke arahku. Seulas senyum tipis kusunggingkan padanya kemudian kembali melanjutkan langkah tanpa melihat lagi ke arahnya.

Aku tak pernah tahu siapa wanita itu, pun masih belum paham betul tentang apa dan seberapa dalam lukanya, dan sepertinya dia pun tak tahu siapa aku dan luka yang kualami. Namun, tak ada yang tahu takdir Tuhan terhadapku dan dirinya kedepannya. Yang aku tahu saat ini, kami hanyalah pecinta yang sedang menyembuhkan luka atau bisa saja seorang pecinta yang disiapkan untuk orang yang lebih baik.

Note: cerita ini hanya fiksi, ambil hikmahnya saja, yang bertentangan dengan norma cukup jadi bagian dari cerita

Post a Comment for "[CERPEN] Luka"